Thursday, 25 September 2014

Seorang Akhi

The world revolves and orbits nonstop. It doesn't stop just because something happens to you. And yet, when something so profound, so devastating, so surprising that comes at you shocking, you expect that the world has to stop, even for a moment, because you need that moment to take it all in, take the experience, absorb it slowly, digest it emotionally, to have a better understanding at what is going on. 

But then the saying emerges, the world doesn't revolve around you. And life goes on. It passes by, at its own pace, so much so, that you are just barely keeping up, that you feel like you are always getting left behind to a point where you feel like you're at the end of the line hanging by a thread waiting for the ball to drop.

Which makes you realize nonetheless, life goes on, at its own pace, without noticing your existence, making you feel insignificant, adding to the list of long insignificancies(?) you are already aware of yourself. 

You end up speechless, unable to comprehend the meaning of the timeline, eventhough you believe that there is a silver lining to every incident, believing that the All-knowing, Almighty has His plans, you still end up flabbergasted in awe of it all. 

I was very lucky to have been able to meet him, to get to know him even for a brief moment compared to those more near and dear to him. Enclosed with this post, is a picture of a dessert that i did get to enjoy stuffing myself after watching how he made it so simply yet so deliciously. This was the last dessert- perhaps in the so forgetful mind that i have- that i have been able to have shared, during the last meeting of my very latest memory i have of him.

Eating it incited in myself to try to make one of my own but i have never been able to cook up the exact replica of his, which makes it ok for me, since that made it unique and one of a kind. 

May allah forgive him, May Allah grant him the best of Jannah to have undergone a great and hard test together with his family, may Allah ease his family and their trials. He has taught me so much, when actually i thought that i should have been teaching him. It goes to show that life is where you learn and never stop doing so, that you can learn many things from many people all around you. You just have to listen and learn.

Hadith narrated by Abu Hurayra that can be found in Sahih Muslim (#1631) and al-Tirmidhi (#1376) that The Prophet (peace and blessings of Allah be upon him) said, 

“When the son of Adam dies, all his deeds come to an end, except for three: ongoing charity, beneficial knowledge or a righteous son who will pray for him.”

May your deeds still multiply in the actions and akhlaq of those hearts you have touched so softly.

And also another picture is about the last time i was with him and other brothers during our last halaqah. After the disbandment of the halaqah-in other words me having to relocate and them being passed to another more reliable murabbi- i never really got the chance to see and talk to him properly.

Although i did get a chance to see him during his stays in the hospital and i was very relieved to have had the opportunity to at least visit him face to face during his hardship.
I pray for the best.

Emily's Death in the opposite house

There's been a death in the opposite house
As lately as today.
I know it by the numb look
Such houses have alway.

The neighbours rustle in and out,
The doctor drives away.
A window opens like a pod,
Abrupt, mechanically;

Somebody flings a mattress out, - 
The children hurry by;
They wonder if It died on that, - 
I used to when a boy.

The minister goes stiffly in
As if the house were his,
And he owned all the mourners now,
And little boys besides;

And then the milliner, and the man
Of the appalling trade,
To take the measure of the house.
There'll be that dark parade

Of tassels and of coaches soon;
It's easy as a sign, - 
The intuition of the news
In just a country town.

Emily Dickinson

Stop for a moment

We're too busy and we don't have time to stop and take a breather.

Stop.

Just stop.

Take a moment, bask in the ambience.

Wednesday, 24 September 2014

Susah memang susah

Beribu-ribu kali berjanji dan berazam untuk berubah, namun akhirnya kecundang lagi. Mungkin tidak cukip beribu, maka diperlukannya berjuta. 

Hati yang sarat dengan dosa apatah lagi tubuh dan anggotanya yang tidak jemu melakukan maksiat akan terasa pelik bila melakukan kebaikan. Setelah sekian lama terbiasa dengan tabiat-tabiat yang mudah dan memuaskan kesenangan, apabila berdepan dengan cabaran ingin melakukan perkara yang berlawanan dengan nafsu, sangat sukar dan sulit. 

Memang fitrah manusia sukakan kepada kebaikan, kebenaran, keindahan apatah lagi yang membawa kepada ketenangan dan kebahagiaan bilamana ia mendekati tuhannya. Namun pada jiwa yang sudah jauh dari tuhannua, sudah tidak mengenali siapa tuhannya, yang sudah tidak mengenali hakikat dirinya sendiri, akan memerlukan waktu dan memerlukan tenaga yang banyak untuk meningatkan dan membangkitkan dirinya dari kelenaan dunia dan kepuasan nafsu yang bermaharajalela. 

Memang penat bila kita melawan nafsu, memang payah dan memang perit. Bayangkan seorang yang sudah ketagih dadah, mungkin dia tahu keburukan dan kejelekannya, mungkin tidak. Namun dalam satu sudut dalam dirinya, dia pasti dapat merasakan bahawa dadah apa jenis yang dia pakai atau makan atau gunakan itu membawanya ke jalan yang tidak dia sukai sekiranya dia sedar pada penghujung jalan itu adalah sesuatu yang membawa parah. Walaubagaimanapun, akhirnya diri akan kecundang kepada nafsu, akhirnya seolah-olah tidak dapat untuk dirinya mengawal diri sendiri melawan keinginan, kehendak, kebiasaan dan ketertarikan yang membuak-buak di dalam jiwanya yang menghidupkan dirinya untuk meneruskan dengan dadahnya itu. 

Kerana melawan keinginan itu sangat penat. Menahan diri sangat penat. Yang mudah dan senang adalah mengikut dan menuruti, menunduk dan mematuhi, melaksanakan dan melakukan segala printah dan kehendak nafsu, sehinggakan terpedaya dengan kesenangan sementara yang diperolehi. Sehinggakan terlupakan kepada keburukan dan marabahaya yang menanti di penghunjung jalan ini, terlena dan lalai dibuai euphoria.

Lantas, bagaimana bisa untuk kita melawannya? Sedangkan apa yang kita hadapi, apa yang kita mendepani, adalah diri kita sendiri. Musuh kita ada darah daging yang cuba kita senangi dan bahagiakan, adalah jiwa yang membisik kepada kita ketika sendirian malah dalam keramaian. 

Lantas bagaimana aku ingin melawan cerminan aku? Bagaimana aku ingin mengubah diri aku, membentuk satu permata yang berkilau dan berainar di dalam kegelapan dunia yang tenggelam di dalam kekotoran, kenodaan dan kenistaan.


Monday, 22 September 2014

Salamatul sadri

Kalau tidak kerana berlapang dada, sudah lama aku mengeluarkan kata-kata kesat.

Kalau tidak kerana aku sudah membenci untuk kembali ke zaman dahulu, sudah lama aku mengamuk dan marah.

Kalau tidak kerana aku sudah ditarbiyyah dan sedang cuba untuk berubah dan menjadi lebih baik, sudah lama aku mengungkit dan menuding jari siapa yang berbuat onar.

Kalau tidak kerana ukhuwwah dan itsar, sudah lama aku berkira dan tidak berbelas kasihan dan lepas tangan dalam apa jua keadaan pun.

Sedang cuba bersabar dan masih lagi bertahan, tapi tidak tahu bila dan bagaimana kalau dapat sampai ke penghujung. 

Moga-moga aku dapat mengawal nafsu, menjaga akhlaq dalam apa jua keadaan, dan Allah ampunkanlah dosa aku yang berlambak ini sehinggakan mencemari qalbu aku dari berlapang dada dan bersabar.

Saturday, 20 September 2014

The real deal.

Ukhuwwah bukan sekadar manis dibibir, teori untuk di bahas dan dibentangkan, dijadikan bahan untuk bercerita sahaja.

Malah lebih dari itu, terjelma pada perbuatan dan kelakuan, diterjemahkan kepada peribadi dan karakter termasuklah tatacara interaksi kita dengan orang lain, dimana kita melebihkan orang lain dari kepentingan diri sendiri tanpa membangkitkan hal-hal tersebut dihadapannya atau sesiapapun.

Di mana hilangnya nilai itsar, yakni perbuatan mengutamakan kehendak, keperluan, kepentingan orang lain dari diri kita sendiri? Adakah kita sanggup menyusahkan diri kita sendiri untuk mempermudahkan urusan orang lain? Pada hematku, perkara ini tidaklah tertakluk pada benda-benda materialistik, apatah lagi bila menyentuh tentang amalan-amalam dalam islam.

Dengan itu, apabila berkata tentang itsar, tidak semestinya bersifat materialistik sahaja seperti barang, duit, makanan dan sebagainya, malah lebih luas dari itu sehinggakan kita bergadai tenaga, waktu dan emosi.

Dan bila aspek-aspek tadi terlibat, maka itulah ujian buat kita, untuk bersabar, untuk melatih dan memupuk kasih sayang antara sesama muslim malah sesama manusia, meskipun kita juga dalam kesusahan dan kesempitan, orang lain diutamakan malah orang yang kita tidak kenali dengan lebih dekat.

Disinilah kita boleh lihat betapa teguh atau tidak iman kita. Apakah kita benar-benar beriman dengan Allah dan ganjaranNya, beriman dengan pembalasan hari akhirat, beriman ingin berpeluang mendapat redhaNya, berpeluang untuk menatap wajah Rabbul Alamin.

Lebih dari itu, sebenarnya kita tidak perlu sentuh pun tentang ukhuwwah melalui perbicaraan kita, melalui kata-kata manis, sajak-sajak dan puisi yang tersohor dan dikenal merata alam siber walhal lebih mudah dan lebih menggugah pabila kita menterjemahkannya dalam kelakuan dan perbuatan, dalam amalan seharian, dalam tingkahlaku dan doa, dalam kesabar memberi lebih dari apa yang kita punyai.

Terkadang, atau mungkin selalu, akhlak itu lebih penting meskipun kalau sikit atau banyak ilmu, miskin atau kaya, sihat atau sakit, dan lain-lain yang bersifat kontradiktif satu sama lainnya. Penekanan pada interaksi dengan manusia kurang difokuskan melainkan lebih kepada penekanan ilmu sehinggakan orang tidak melihat kepada apa yang disampaikan walhal melihat pada siapa yang menyampaikan dan bagaimana mesej itu disampaikan.

Akibatnya, walaupun mesej yang ingin dijelaskan itu benar dan shahih, namun tidak memberi apa-apa efek kalau caranya itu membuat penerima mesej tersebut lebih merasa terkutuk dari dibela dan diselamatkan.

Penerimaan itu lebih bermakna bila kita menggunakan elemen kasih sayang, apatah lagi dengan "ukhuwwah fillah abadan abada".

Walk the talk, my brothers, WALK, the talk.